Bicara tentang event-event di Solo, tidak akan ada habis-habisnya! Berbagai event ada di kota ini yang selalu saja menarik untuk diikuti, baik event tradisional yang terpelihara dengan baik selama ratusan tahun, maupun event modern-kontemporer yang semakin menunjukkan eksistensinya.
Dalam tulisan saya yang lampau, saya menceritakan bagaimana dulu saya sangat skeptik tentang kota saya sendiri, khususnya saat zaman-zaman internet dan media sosial belum berkembang secepat ini. Tahun 2010 merupakan masa saat saya mulai terbuka tentang potensi Kota Solo. Mata saya mulai melihat keindahan, keunikan,dan keragaman seni budaya yang dimiliki kota ini. Walaupun tinggal di Solo, sebelumnya saya sering menjelekkan kota saya sendiri dan membandingkannya secara negatif dengan kota lain. Namun, berkat kemudahan mencari informasi melalui internet dan media sosial, saya berubah menjadi bangga pada kota ini. Dari yang masa bodoh tentang kota Solo hingga pada akhirnya "gak boleh kelewatan event" kota Solo.
Di antara berbagai event tersebut saya lebih tertarik pada event bernuansa tradisional khususnya yang diadakan Keraton Kasunanan maupun Pura Mangkunegaran. Alasannya, selain kagum dengan lamanya event itu terpelihara sampai sekarang, juga karena event tradisional Solo bisa dikatakan memiliki ciri khas penanda keunikannya dan tentu saja arti filosofi luhur yang diajarkan dari berbagai event berbentu prosesi adat itu.
Grebeg Maulud tahun 2010 merupakan event grebeg Keraton Kasunanan pertama yang saya ikuti dan benar-benar membekas di pikiran saya. Event keraton yang saya pernah datangi sebelumnya hanya Sekaten saja. Waktu itu saya iseng-iseng, mumpung punya kamera baru (walau hanya kamera saku bukan kamera DSLR), saya ingin menonton Grebeg Maulud yang diadakan untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW. Saya pengen tahu sebenarnya pada rebutan apa ya kalau pas ada acara grebeg dan seramai apa acara grebeg itu?
Nah, pagi hari pukul 05.30 tanggal 26 Februari 2010 saya melewati Keraton Kasunanan. Tampak bagian depan keraton (yang pada tempo setelahnya saya ketahui namanya adalah Kori Kamandhungan dan Bale Roto) telah dihiasi dengan hiasan janur nan indah. Saya menanyakan kepada seorang bapak di sana, kapan acara grebeg dimulai? Beliau menjawab kira-kira pukul 09.00 pagi. Sesampainya di rumah saya mempersiapkan kamera karena akan mulai pengalaman pertama hunting foto grebeg. Pukul 08.00 pagi saya sampai di kawasan keraton. Kawasan Supit Urang sudah tampak ramai sekali, motor dan mobil pun tampak susah untuk bergerak. Abdi dalem dari berbagai daerah dengan pakaian hitam dan mengenakan samir bermunculan hendak menuju ke dalam keraton.
Keramaian sebelum dimulainya Grebeg Maulud 26 Februari 2010. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Abdi dalem dari berbagai daerah memasuki keraton sebelum grebeg dimulai. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Kurang lebih pukul 09.00 terdengar suara musik yang makin lama makin terdengar keras, pertanda sumber suara itu semakin mendekat. Dari kejauhan tampak barisan prajurit berpakaian hitam yang sebagian di antaranya memainkan drum dan seruling. Nah, ini pertama kalinya saya melihat yang namanya prajurit keraton lengkap dengan suara musik pengiringnya. "Wow!" batin saya. Kota Solo yang dulunya saya pikir biasa-biasa saja ternyata menyimpan kekayaan kerajaan yang masih lestari hingga kini, "Wah ini toh yang namanya Prajurit Kerajaan Solo". Sungguh mengagumkan, serasa kembali ke masa lampau. Benar-benar takjub! Barisannya, musiknya, derap langkahnya. Mungkin orang menganggap saya berlebihan tapi itulah kenyataannya yang saya rasakan, takjub!
Barisan prajurit Keraton Kasunanan tampak berwibawa dan dengan kostum yang menawan. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Berbagai macam prajurit Keraton Kasunanan mengawali jalannya grebeg. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Yang juga tak kalah menariknya adalah adanya abdi dalem dengan penampilan lain daripada yang lain, semacam "badut kerajaan" dalam hati saya. Nama dari abdi dalem ini adalah canthangbalung, unik ya?
Abdi dalem semacam badut bernama canthangbalung. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Abdi dalem pembawa gamelan pusaka. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Saatnya yang ditunggu-tunggu pun datang. Nah, ini dia! Gunungan Grebeg sudah nampak dari kejauhan dan makin lama makin mendekat. Semua orang hendak mendekati gunungan itu lantaran ingin melihat kemegahannya dan mengabadikannya melalui kamera masing-masing. Anak-anak kecil juga tampak antusias berdesakan hanya agar bisa mengamati sang gunungan berhias warna warni dari dekat. Jangankan anak kecil, saya saja gumun, oalah ini toh yang namanya gunungan. Wah, cantik, megah, keren! Berat juga ya kayaknya?
Gunungan estri keluar dengan cantiknya. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Gunungan estri tampak dibawa para abdi dalem. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Kemudian mucullah gunungan dalam bentuk yang lain. Gunungan ini lebih tinggi dibandingkan sebelumnya dengan hiasan merah putih beserta lambang Keraton Kasunanan, apik dan indah!
Gunungan jaler keluar dari Kamandhungan. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Abdi dalem yang sedang memikul gunungan jaler. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Awalnya saya belum memahami makna dua gunungan berbentuk beda tersebut. Setelah mencari referensi baru saya ketahui bahwa gunungan pertama disebut gunungan estri (gunungan wanita) dan gunungan kedua disebut gunungan jaler (gunungan pria). Keduanya dibentuk dari berbagai macam hasil bumi pertanda rasa syukur Sinuhun terhadap kemakmuran kerajaannya. Gunungan estri disusun dari hasil bumi yang telah matang seperti rengginang, sementara gunungan jaler disusun dari hasil bumi mentah seperti kacang panjang dan cabai merah. Baru saya ketahui pula saat itu bahwa bendera merah putih pada gunungan tersebut ternyata adalah bendera gula kelapa, bendera Keraton Kasunanan Surakarta, yang sekarang dipakai sebagai bendera NKRI. Makin bangga saya dengan sejarah Solo ini.
Entah berapa ribu orang tumpah ruah saat itu. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Keramaian masyarakat yang antusias mengikuti Grebeg Maulud sampai ke Masjid Agung. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Saya berusaha sebisa mungkin sampai ke masjid Agung sebelum gunungan-gunungan itu tiba, penasaran juga seperti apa sih rayakan gunungan yang menjadi ciri khas grebeg itu? Kok sampai ada orang-orang dari daerah yang jauh rela datang hanya untuk mengambil bagian dari rayakan itu? Setelah berjuang keras sampai pula di depan Masjid Agung. Ternyata keramaian di halaman Masjid Agung jauh lebih padat. Saya pun tertahan di gerbang depan Masjid Agung karena tidak bisa maju maupun mundur barang sejengkal pun. Pengalaman berkesan berhimpit-himpitan dengan orang-orang yang berebutan untuk mendekati gunungan yang sebelumnya telah tiba di Masjid Agung. Wah, pada mau ngalap berkah seperti apa kebagian semua ya?
Masyarakat berebut bagian-bagian gunungan, sayangnya dilakukan sebelum doa selesai. Photo credit: Aditya Darmasurya |
Fiuh, setelah kurang lebih 30 menit berhimpitan di gerbang masjid agung akhirnya saya bisa lega bergerak. Sisa gunungan hanya tinggal rangkanya saja. Walaupun tidak kebagian bagian dari gunungan, saya sudah sangat puas bisa melihat secara langsung prosesi Grebeg Maulud ini. Tanggal 26 Februari 2010 tidak akan terlupakan, tanggal di mana saya pertama kali mengikuti prosesi budaya grebeg Keraton Kasunanan dan sejak itu saya menjadi semakin antusias mengikuti event dan mempelajari budaya Keraton Kasunanan. Kota Solo ternyata menyimpan khazanah budaya yang unik, lestari, dan patut dibanggakan!
Sebagai tambahan, Darsiti Soeratman dalam bukunya "Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939" menjelaskan bahwa Keraton Kasunanan Surakarta dalam setahun melangsungkan tiga kali upacara yang berhubungan dengan agama Islam yang disebut dengan garebeg. Di antara tiga macam garebeg itu, Grebeg Maulud dirayakan secara besar-besaran. Penamaan garebeg dihubungkan dengan peristiwa pada waktu raja dalam busana kebesaran miyos dari kedhaton menuju Siti Hinggil; raja ginarebeg artinya diiringkan oleh ratusan orang yang terdiri atas abdi dalem, prajurit, para putra, keluarga dan kerabat raja serta para tamu undanga, sehingga suara prosesi itu menjadi gemuruh.
Prosesi Grebeg memiliki filosofi yang tinggi. Dalam buku itu, Darsiti Soeratman juga mengungkapkan arti filosofi gunungan sebagai alat komunikasi yang sangat menonjol:
- Bentuknya yang menyerupai gunung menunjukkan adanya kesakralan.
- Sebagai hajat dalem (selamatan yang diselenggarakan oleh raja), maka gunungan yang dianggap memiliki kekuatan magis. Untuk dapat sampai di masjid, jalannya gunungan itu disertai upacara respi dan melewati ruang-ruang di halaman keraton, yaitu halaman kedhaton, Sri Manganti, Kamandhungan, Siti Hinggil, Pagelaran, dan Alun-alun.
- Gunugnan yang terdiri atas buah-buahan, sayur-sayuran, telur, makanan dari beras dan ketan, dan sebagainya melambangkan suatu negara agraris dan makmur.
- Penerapan klasifikasi dualisme yang saling melengkapi dan dibuatnya gunungan laki-laki dan perempuan.
- Gunungan yang berbentuk lingga dan yoni yang melambangkan kesuburan dan dibawa ke masjid untuk didoakan secara Islam menunjukkan adanya sinkretisme dalam kehidupan beragama masyarakat keraton.
- Lewat gunungan ini, Sunan mengadakan selamatan, makanan yang telah disucikan dan mengandung magi untuk rakyat.
Berikut ini ada beberapa tips untuk melihat acara Grebeg Maulud maupun grebeg yang lain:
- Pastikan tanggal dan jam kapan grebeg dimulai, kadang terdapat beritanya di www.solopos.com atau soloblitz.co.id, atau bisa ditanyakan langsung kepada para penjaga loket tiket Museum Keraton. Hal ini dikarenakan Keraton menggunakan penanggalan Jawa bukan penanggalan Masehi.
- Datang satu jam sebelum grebeg dimulai, khususnya untuk Grebeg Maulud karena Grebeg Maulud merupakan grebeg paling akbar dan paling ramai.
- Ternyata bisa juga loh mengikuti prosesi grebeg dari dalam halaman dalam kedhaton, jangan lupa untuk mengenakan pakaian rapi sopan (untuk perempuan jangan bercelana) dan mengenakan samir yang bisa dibeli di loket Museum Keraton serta menaati tata tertib di dalam Keraton.
- Saat grebeg berlangsung, jangan sampai antusiasme fotografi kita menghalangi jalannya prosesi.
- Lebih baik pelajari pula makna-makna di balik prosesi grebeg dan arti filosofi bangunan-bangunan yang dilewatinya karena budaya itu lestari karena makna luhur di balik budaya itu sendiri.
- Sebenarnya adat yang benar adalah membagikan bagian gunungan, bukan dengan cara diperebutkan (rayakan). Tetap berhati-hati apabila ingin ikut ambil bagian dalam rayakan karena orang tua dan anak-anak sering menjadi korban keramaian massa yang ikut rayakan.
- Berhati-hatilah selalu dan jagalah barang bawaan Anda.
Grebeg Maulud tahun 2010 yang lalu merupakan titik awal di mana saya mulai membuka mata saya terhadap budaya dan sejarah kota saya sendiri, Kota Solo. Prosesi itu begitu memberikan kesan mendalam hingga saya berusaha mengikuti tiap prosesi adat yang diadakan Keraton Surakarta. Adanya nilai-nilai filosofi luhur yang diwariskan turun-temurun selama ratusan tahun dalam prosesi Grebeg Maulud dan juga dalam prosesi-prosesi Keraton Surakarta yang lain membuat prosesi-prosesi itu memiliki nilai lebih. Kemegahannya mungkin tidak sama seperti yang ada pada zaman para raja-raja dulu, tetapi sungguh sangat membanggakan kelestariannya bertahan melewati berbagai periode sementara ajaran luhur yang terkandung di dalamnya tak pernah kadaluwarsa. Ayo, mari kita lestarikan prosesi-prosesi adat Keraton Surakarta, ikuti dan hayati makna-makna di balik prosesi-prosesi itu :).
“Kuncara ruming bangsa dumining haneng luhuring budaya“
-Keharuman dan kebesaran suatu bangsa terletak pada keluhuran budayanya-
Pakubuwono X
Untuk melihat dokumentasi Grebeg Maulud zaman Pakubuwono X bisa dilihat
pada
Grebeg Maulud zaman Pakubuwono X
*Foto-foto dan tulisan di dalam
artikel ini adalah milik penulis dan dilindungi oleh Undang-Undang Hak
Cipta. Mohon hubungi penulis bila hendak mempergunakannya.*
Referensi:
Darsiti Soeratman (1989). Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Tamansiswa.